Staf Dosen FK Unair Lakukan Riset dan Tempuh S3 di Belanda

Surabaya - Untuk menunjang suksesnya target penurunan angka kematian bayi sesuai dengan SDGs (Sustainable Development Goals) pada lahun 2020 menjadi 13 : 1000 kelahiran hidup, Fakultas Kedokteran Unair akan kirimkan staf dosen untuk belajar riset dan tempuh S3 ke Belanda tahun 2018.

Selain itu, program yang dikerjasamakan dengan University Medical Center Groningen the Netherlands (UMCG) itu juga bertujuan untuk menekan angka kasus hiperbilirubinemia atau penyakit kuning pada bayi.

Perwakilan dari UMCG Belanda Prof Arend Frederick Bos di kampus FK Unair, menyatakan dengan kerjasama ini pihaknya optimis bisa menekan angka kasus hiperbilirubinemia. Pasalnya, di nengara asalnya merupakan salah satu negara dengan angka bebas kemikterus yang merupakan bentuk paling parah penyakit kuning pada bayi yang disebabkan penumpukan pigmen berwarna kuning kecokelatan di dalam empedu, darah dan tinja atau yang​ disebut bilirubin.

"Kerja sama itu nanti dalam bentuk mengirim staf dosen Unair untuk belajar S3 di Belanda dan riset. Karena penyakit kuning bisa dicegah dan bayi tidak perlu mengalamai kelaianan seperti cacat. Pencegahan itu diharapkan bisa membuat generasi Indonesia menjadi lebih cerdas," terangnya.

Sementara itu, Dr Toto Wisnu Hendarto, Ketua Ujian Kompetensi Kejuruan (UKK) Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjelaskan hiperbilirubinemia biasanya dijumpai pada bayi usia 1-2 minggu. Tidak semua gejala kuning pada bayi adalah normal.

"Gejala lain, yang paling ringan adalah malas minum, demam yang disertai dengan penurunan berat badan lebih dari 10 persen. Sedangkan kondisi beray dapat menyebabkan kejang hingga kematian," katanya.

Ia mengungkapkan, gejala lain adalah teridentifikasi adanya perbedaan golongan darah terutama jika ibunya memiliki golongan darah O, maka harus dibawa ke rumah sakit sehingga bisa diidentifikasi secara cepat.

"Penanganan pertama pada hiberbilirubinemia adalah dengan screening terutama untuk ibu-ibu dengan golongan darah O apabila bayi terjadi hiperbilirubinemia memiliki golongan darah dengan ibu," ujarnya.

Saat ditanya data terkait bayi dengan kasus tersebut, dirinya mengatakan data lengkapnya memang tidak ada. Namun di RSUD Dr Soetomo sebagai salah satu pusat rujukan nasional, pada tahun 2016 telah merawat Iebih dari 450 bayi dengan hiperbilimbinemia dan 6-8 kasus diantaranya mengalami kemikterus.

"Namun secara nasional tidak ada data itu, karena butuh satu data lokal yang bisa mendukung adanya data yang akurat di Indonesia. Kedua diagnosis untuk melihat seberapa berat bayinya. Bayi yang normal penanganannya adalah ASI. Portein ASI akan mengikat bilirubin tadi untuk dibawa ke hati dan dibuang lewat kotoran. Dijemur hanya untuk meningkatkan kemampuan minum terutama ASI," tuturnya.

Dirinya berharap dengan kerja sama yang terjalin antara Unair dan Belanda dengan menggabungkan riset dan klinis mampu memperbaiki registri hiperbilirubinemia sehingga akan memperbaiki tata laksana hiperbilirubinemia di Indonesia.


http://beritajatim.com