Program DLP Boleh Dibuka Di PTN BH Tanpa Izin Menristekdikti

IMG-20161129-WA0015Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tetap akan menerapkan program Dokter Layanan Primer (DLP), meski hal itu masih menjadi kontroversi di masyarakat. Karena program itu merupakan amanat Undang-Undang (UU). "Program DLP sudah dibuka tahun ini di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (Unpad)," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (29/11) malam.

Ditambahkan, FK Unpad diperbolehkan membuka program DLP karena statusnya sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH). Karena statusnya tersebut, program DLP bisa dibuka tanpa perlu menunggu persetujuan Menristekdikti. "Untuk 6 FK di PTN BH lainnya, keputusan untuk membuka program DLP diserahkan sepenuhnya pada masing-masing kampus," ucap Nasir menegaskan.

Untuk 10 FK di perguruan tinggi negeri non badan hukum, dikatakan Menristekdikti, hal itu masih menunggu rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Program DLP yang saat ini masih dibuat draft-nya. Program DLP beberapa waktu lalu mendapat kecaman dari organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mengingat istilah DLP selama ini tidak pernah dikenal dalam dunia kedokteran, baik di dalam maupun luar negeri.

Ketidaksetujuan serupa disampaikan anggota Komisi X, Sri Rahayu Ningsih. Ia meminta pemerintah menangguhkan program DLP, sambil menunggu kajian ilmiah atas program tersebut. "Kami khawatir dokter umum diluar program DLP akan mendapat diskriminasi. Kebijakan tentang program DLP sebaiknya ditunda dulu," ujar perempuan yang akrab dipanggil Yayuk tersebut. Ia menilai jika program DLP dilaksanakan, maka hal itu akan membebani anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN). Karena untuk mencetak 300 DLP saja dibutuhkan anggaran sekitar Rp10triliun.

"Lebih baik anggaran yang ada untuk membiayai mahasiswa kedokteran yang ada melalui program pendidikan berkelanjutan yang tidak memakan waktu lama, seperti halnya program DLP. Ada 900 ribu dokter yang bisa diefektifkan untuk kegiatan preventif," ujarnya. Hal senada dikemukakan Wiryanti Sukamdani. Ia menilai program DLP terlalu dipaksakan. Untuk meningkatkan kompetensi, seharusnya dokter diberi banyak praktik di layanan kesehatan, bukannya belajar teori lagi di kampus. "Masalah kita sekarang ini adalah kekurangan dokter. Bukan membuka program studi baru," tutur Wiryanti. (TW)