Dokter Ungkap Tantangan Atasi Penyakit Langka di Indonesia

Dokter Klara Yuliarti, SpA(K), Staf Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM mempresentasikan beberapa kasus penyakit langka inborn errors of metabolism.(Sanofi Indonesia)


JAKARTA, KOMPAS.com -- Di Indonesia, penyakit langka didefinisikan sebagai penyakit yang dialami oleh kurang dari 2.000 orang. Dengan definisi ini, ada sekitar 7.000-8.000 jenis penyakit yang telah teridentifikasi dan dapat diklasifikasikan sebagai penyakit langka.

Mempengaruhi sekitar 6-10 persen penduduk dunia, jumlah penderita penyakit langka di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta orang.

Sayangnya, hanya lima persen dari penyakit langka yang dapat diobati, 80 persen adalah penyakit genetik, 65 persen menyebabkan kecacatan permanen, 50 persen mempengaruhi anak, dan 35 persen adalah penyebab kematian pada batita.

Melalui acara diskusi media yang bertema “Kelainan Metabolik Bawaan dan Perkembangan Terbaru di Indonesia” yang diadakan di Jakarta, Selasa (3/10/2017), Sanofi Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia ingin meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan penyakit langka, khususnya kelainan metabolik bawaan.

Dr dr Damayanti R Sjarif, SpA(K), Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM yang hadir sebagai pembicara menjelaskan bahwa kelainan metabolik bawaan terjadi ketika gen yang memproduksi enzim untuk mencerna makanan mengalami mutasi.

“Jika gen ini mengalami mutasi, maka enzim yang terbentuk jadi salah. Akibatnya, makanan yang kita makan tidak bisa menjadi energi dan building block. Inilah yang kita sebut kelainan metabolisme bawaan,” kata Damayanti.

Walaupun tergolong penyakit langka, kelainan metabolik bawaaan secara kolektif mempengaruhi satu dari 500 kelahiran hidup. “Dengan jumlah penduduk 250 juta, diperkirakakan ada 8.500 bayi dengan kelainan metabolik yang lahir setiap tahunnya,” ujar Damayanti.

Di Indonesia, salah satu kendala bagi penderita kelainan metabolik bawaan dan penyakit langka lainnya adalah kurangnya akses untuk mendapatkan diagnosis yang benar. Dilansir dari lembar fakta, sekitar 40 persen dari penderita penakit langka pernah mengalami salah diagnosis, setidaknya sekali.

Hal ini tidak bisa dipisahkan dari kurangnya pengetahuan ilmiah akan penyakit langka dan fasilitas kesehatan yang dapat mengenali dan menangani penyakit langka. Selain itu, gejala penyakit langka yang seringkali menyerupai penyakit lain juga mempersulit diagnosis awal penyakit langka.

Lalu, karena obat dan makanan untuk penderita penyakit langka tergolong orphan (sulit dipasarkan karena hanya ditujukan untuk sejumlah kecil pasien) dan belum diregistrasi, aksesnya pun menjadi terbatas.

Kini, berbagai perkembangan telah dilakukan, seperti dimasukkannya penyakit langka ke dalam kurikulum kedokteran sejak 2005, diadakannya kerjasama dengan laboratorium di luar negeri untuk mendiagnosis penyakit langka, dan pengecualian pajak masuk orphan food dan orphan drug melalui yayasan sejak tahun lalu.

Akan tetapi, yang masih menjadi PR bagi para dokter adalah meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat akan kondisi penyakit langka di Indonesia agar deteksi dini dapat terlaksana.

Deteksi dini sangat dibutuhkan untuk menentukan perawatan yang tepat bagi penderita penyakit langka, mencegah angka kematian, dan mengetahui gejala sisa neurologis yang permanen pada pasien.

Penyakit langka memang baru lima persen yang telah memiliki terapi, tetapi dengan perawatan medis yang tepat dan sesuai, kualitas kehidupan dan harapan hidup pasien akan meningkat.

Mengakhiri presentasinya, Damayanti mengatakan, kalau sakitnya jarang bukan berarti tidak ada harapan. Ya, ada harapan.


Sumber: http://sains.kompas.com/read/2017/10/03/205957623/dokter-ungkap-tantangan-atasi-penyakit-langka-di-indonesia