Isu-isu Strategis dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Category: JKN Hits: 17286

Ada 3 isu dalam JKN yang perlu dibahas yaitu: Ideologis dan kemampuan fiskal, Equity, dan Proses penyusunan Kebijakan JKN

 

 

Isi Ideologi dan Kemampuan Fiskal

Dalam memilih kebijakan pembiayaan kesehatan, setiap negara perlu memastikan kecukupan fiskal. Bukti menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang dibayar oleh pemerintah membutuhkan negara yang mempunyai pendaptan cukup. Hal ini terjadi di negara-negara Eropa Barat yang cenderung mewarisi sifat sosialisme. Swedia, Inggris merupakan negara yang sangat teguh dalam memagang prinsip bahwa kesehatan harus didanai oleh negara. Spanyol berusaha serupa, namun ketika krisis ekonomi menghatam, terjadi pemotongan anggaran untuk kesejahteraan sosial termasuk rumahsakit.

Negara-negara berkembang, khususnya negara yang berpenghasilan rendah, menghadapi tantangan berat dalam memobilisasi kecukupan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar. Berbagai negara miskin di Asia seperti Bangladesh tidak mempunyai program penjaminan pelayanan kesehatan[1]. Negara berpenghasilan menengah seperti Thailand saat ini fokus terhadap penyediaan cakupan universal untuk warganya. Negara membiayai sebagian pelayanan kesehatan walaupun tetap masyarakat dapat membeli/membayar sendiri pelayanan kesehatannya.  Negara-negara berkembang menghadapi tantangan kebijakan utama dalam pembiayaan sistem kesehatan :

a)   Meningkatkan kecukupan dan keberlanjutan dana kesehatan yang dapat dikumpulkan oleh negara. Dana pemerintah yang dengan susah payah dikumpulkan ini perlu dibelanjakan secara efisien dan adil. Prioritas untuk menyediakan layanan kesehatan dasar dan perlindungan keuangan terhadap kerugian finansial yang bersifat katastrofik baik yang disebabkan penyakit maupun kecelakaan perlu dilakukan.

b)   Sistem pembiayaan harus dikelola agar dana yang terkumpul dapat masuk ke proses penyaluran yang menjamin keadilan dan efisiensi. Sebagai gambaran, andaikata dana disalurkan ke sistem asuransi kesehatan yang cenderung digunakan oleh masyarkat kelas atas dan yang sakit maka terjadi kegagalan pooling.

c)   Negara-negara sedang berkembang perlu menyusun perencanaan yang baik agar terjadi efisiensi dan pemerataan pembelian layanan kesehatan. Dalam konteks jaminan kesehatan hal ini dapat menjadi masalah karena sistem claim yang menggunakan pendekatan DRG cenderung membuat penggunaan anggaran condong berada di daerah yang tersedia pelayanan kesehatan dan SDMnya.

            Dalam konteks kebijakan negara di pengumpulan dan penyaluran dana kesehatan, perlu dipahami ideology yang dianut negara. Ada pertannyaan penting dalam penyusunan UU SJSN dan UU BPJS. Adakah ideology di dalamnya? Apakah sosialisme, kapitalisme, etatisme, atau neoliberal?  Atau ada pertanyaan yang sarkastik, apakah kebijakan UU SJSN dan UU BPJS adalah sebuah kebijakan yang bersifat populis, hanya untuk menyenangkan rakyat tanpa perhitungan teknis, kemampuan fiscal, dan tidak berdasarkan ideology.

Sebuah pertanyaan yang cukup sulit dijawab karena ternyata dalam perjalanan sejarah terjadi pergeseran bahkan pencampuran berbagai ideology. Contohnya berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat dalam membiayai pengobatan sehingga RS boleh memungut tariff dari masyarakat langsung. Dari tahun ke tahun, tampak bahwa pembangunan RS swasta yang berbentuk PT semakin meningkat.  Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada penambahan 25 RS  berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan[2]. Sebaliknya hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk PT ini melayani kelompok pasar menengah atas.

Namun menarik untuk diamati bahwa dalam decade 2000an terjadi pergeseran ideology. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi asuransi kesehatan bagi orang miskin.  Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan.  Hal ini merupakan tanda bahwa sosialisme menguat di Indonesia.

Akan tetapi adanya pemilihan presiden dan kepala daerah langsung di Indonesia nampaknya juga berpengaruh terhadap kebijakan public dalam pembiayaan kesehatan. Kebijakan yang cenderung mengandung ciri-ciri “sosialisme” ini ditumpangi oleh penguatan arus “populisme” yang cenderung hanya untuk menyenangkan rakyat.  Hal ini nampak pada janji janji kampanye yang seringkali berupa “pengobatan gratis”. Kemudian disusul dengan adanya program Jaminan Persalinan (jampersal) yang bahkan membolehkan mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di kelas 3 RS yang dikontrak.

Situasi ini berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat dimana ideology sangat kental. Partai Demokrat cenderung dalam posisi banyak membelanjakan dana yang dikumpulkan oleh negara untuk pelayanan kesehatan. Sebalikya Parta Republik mempunyai ideology yang cenderung mengurangi peran dan pendanaan negara agar tidak terjadi beban pajak yang besar dan “pemanjaan” masyarakat.

 

 Isu Equity

 

Salahsatu tujuan reformasi dalam sistem kesehatan, termasuk  pembiayaan kesehatan adalah seperti mengurangi ketimpangan, mencegah orang jatuh ke dalam kemiskinan sebagai akibat dari biaya pengobatan, dan melindungi dan meningkatkan status kesehatan individu dan populasi dengan memastikan akses.  Kebijakan untuk memberikan perlindungan keuangan dan mempromosikan kesetaraan tergantung pada bagaimana sistem kesehatan mengatur tiga fungsi pembiayaan kesehatan utama: revenue collection, pooling risk, dan purchasing. Semua fungsi pembiayaan kesehatan berperan penting dalam memastikan perlindungan keuangan dan mengurangi kesenjangan merupakan prinsip pokok namun sering paling sedikit dipahami. Mengapa?

Equity kesehatan yanng dipahami sebagai keadilan dan pemerataan untuk pelayanan kesehatan sering kurang dipahami dengan benar. Dalam hal ini  perlu dipelajari mengenai equity geografis dan equity sosial-ekonomi. Equity geografis berpijak pada perbedaan antar berbagai daerah dalam berbagai dimensi antara lain:

  1. a.Equity dalam status kesehatan

Contoh perbedaan equity antar propinsi adalah perbedaan tingkat kematian maternal antara populasi. Di Provinsi Yogyakarta, angka kematian ibu (AKI) adalah 125 kematian per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Provinsi Papua, AKI mencapai angka 362 per 100.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini tidak adil dan dapat dihindari.

  1. b.Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

Penggunaan layanan kesehatan seringkali dijadikan perbandingan dalam melihat ketimpangan antar populasi. Masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di Provinsi NTT misalnya.

Contoh, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di DKI Jakarta mencapai cakupan 98%, sementara ibu-ibu melahirkan di Provinsi Maluku Utara hanya mendapat cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 23% (SDKI, 2007). Contoh lain: Hemodialisis hanya didapatkan di Kupan untuk seluruh Propinsi NTT. Untuk mendapatkannya warga NTT harus terbang ke Kupang (P. Timor) dari berbagai pulau lain. Sementara itu di Yogya, untuk mendapatkan pelayanan hemodialisis pasien dapat naik b ecak.

Mengapa bisa terjadi ketimpangan geografis yang tinggi? Apakah distribusi dokter dan fasilitas kesehatan juga adalah suatu inequity tersendiri? dan, apakah sistem kesehatan nasional Indonesia timpang?

 

Equity secara sosial-ekonomi

Kebijakan dalam pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas  pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya.

Dapat disimpulkan bahwa  berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya.  Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat (ASKESKIN, JAMKESMAS, JAMKESDA, dsb), mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan kaum rentan-miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan.

Akan tetapi peraturan dalam JKN ada kemungkinan memperburuk penggunaan pelayanan kesehatan. Dengan terbukanya pintu bagi masyarakat kelas menengah dan atas untuk menjadi anggota BPJS dengan membayar premi yang kurang dari Rp 60 ribu sebulan, maka ada risiko terjadinya ketidak adilan sosial-eknomi.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa kebijakan JKN dan BPJS mempunyai kemungkinan memperburuk ketidak-adilan geografis dan sosial-ekonomi.

 

Isu Proses penyusunan Kebijakan

 

Proses penyusunan UU SJSN dan BPJS telah lama berjalan. Pada tahun 1997 UGM pernah menyusun dokumen akademik (bersama PT Askes Indonesia) mengenai RUU Sistem Asuransi Kesehatan Nasional.  Naskah akademik ini membatasi Jaminan Kesehatan hanya untuk masyarakat bawah seperti Jamkesmas.

 

Proses penyusunan UU ini kemudian tidak berjalan dan berganti  dengan RUU SJSN. Pengembangan RUU SJSN berjalan secara berat dan mencakup tidak hanya asuransi kesehatan.  Materi Asuransi kesehatan digabungkan dengan berbagai jaminan sosial lain seperti yang dimaksud dengan ILO. Proses penyusunan UU SJSN penuh kompromi dan pengesahannya cukup menarik: di hari terakhir Presiden Megawati. Selanjutnya selama 5 tahun dari tahun 2004 sampai dengan 2009, UU SJSN tidak berjalan dengan baik. Proses ini menunjukkan adanya ketergesaan dalam pengesahannya.UU BPJS disahkan dalam suasana yang hiruk-pikuk dengan berbagai stakeholder yang berbeda  pendapat dan berbagai demonstrasi yang pro dan kontra.

 

Berbagai stakeholder tersebut adalah masyarakat penerima, pemerintah (pusat, propinsi, dan kabupaten) DPR dan DPRD, pihak swasta (berbagai PT yang menjalankan jaminan sosial), pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan, organisasi Ikatan Profesi dan lain-lain. Aktor pelaku sangat banyak dan mempunyai pandangan politik dan pandangan terkait dengan keuangan dan kepentingan ekonomi yang berbeda-beda. Dalam konteks berbagai jaminan sosial, para aktor pelaku sudah berada dalam posisi yang sulit dikelola secara bersama-sama. Dalam penyelesaian 2 UU tersebut, dikawatirkan hal-hal teknis menjadi terabaikan dalam perdebatan politik dan perbedaan kepentingan ekonomi antar aktor pelaku. Hal ini sudah terbukti pada perdebatan akhir-akhir ini mengenai bentuk dan komposisi BP SJSN.



[1] WHO Report..

[2] Trisnantoro L, Hort, Meliala.