Monitoring dan Evaluasi

Category: JKN Hits: 7162

Mengapa perlu melakukan monitoring dan evaluasi?
UU SSJN dan UU BPJS dengan seluruh turunannya merupakan serangkaian kebijakan kesehatan. Apa yang disebut sebagai Kebijakan Kesehatan. Tidaklah mudah untuk mengartikan kebijakan kesehatan dalam kalimat singkat. Seorang perencana dari Bank Dunia (World Bank) dengan latar belakang ekonomi mengartikan kebijakan kesehatan sebagai pengalokasian sumber daya yang terbatas di bidang kesehatan (allocation of scarce resources) Ahli yang lainnya lebih melihat pada proses dan kekuasaan, termasuk di dalamnya "siapa mempengaruhi siapa pada pembuatan kebijakan kesehatan dan bagaimana kebijakan itu akhirnya terjadi". Health policy is about the process and the power. It is concerned with who influences whom in the making of policy and how that happens.
Karena itu Walt mencoba merangkumnya dalam pemaknaan yang lebih luas melingkupi sebagai upaya atau tindakan-tindakan pengambilan keputusan yang tak hanya meliputi aspek teknis medis dan pelayanan kesehatan , tak hanya aktor individu tetapi juga organisasi atau institusi, dari pemerintah juga sektor swasta termasuk LSM dan representasi masyarakat lainnya, yang akan mempengaruhi atau membawa dampak pada kesehatan.
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organizations, services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health ( Walt, 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan pubik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Pemahaman tentang arti kebijakan kesehatan dilengkapi oleh Janovsky & Cassels (1996), sebagai : " The networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery". Atas dasar itu ia membagi kebijakan kesehatan dalam Kebijakan teknis (technical policies) atau kebijakan operasional (operational policies) yang cenderung bernuansa pelaksanaan kegiatan dan Kebijakan institusional (institutional policies) atau kebijakan strategis (strategic policies) yang cenderung bernuansa strategis. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan perlu diperlakukan sama dengan kebijakan public lainnya yang harus diteliti efektifitasnya.

Dalam konteks ini, penelitian kebijakan kesehatan merupakan salah satu cabang ilmu yang baru berkembang di Indonesia. Pemahaman kalangan akademis yang membidangi masalah kebijakan kesehatan mengenai bagaimana melaksanakan penelitian kebijakan masih sangat terbatas. Penelitian kebijakan kesehatan mempunyai berbagai cakupan antara lain:

1. Agenda Setting dan konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam penyusunan kebijakan Kesehatan
2. Komponen Kebijakan (Aktor, kebijakan dan Lingkungan)
3. Aspek desentralisi dimana ada pembagian wewenang antar berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia.
Dalam penelitian kebijakan, ada berbagai bentuk dan metode yang digunakan, antara lain: Policy Analysis (Analisis terhadap Aktor, Isi, Konteks dalam formulasi, dan implementasi Kebijakan); Monitoring policy Impact (WHO 2013); Evaluasi Kebijakan, dan Analisis Stakeholder. Semakin lengkap bentuk dan metode, diperlukan berbagai ketrampilan untuk melakukanya.
Berbagai Risiko Kebijakan UU SJSN dan UU BPJS untuk penyimpangan dari Tujuan Pemerataan.
Bagian ini membahas mengenai risiko kebijakan UU SJSN dan UU BPJS. Mengapa? Ada kemungkinan UU SJSN dan UU BPJS serta turunannya tidak menghasilkan apa yang disebut sebagai pencapaian tujuan kebijakan, khususnya dalam keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memahami pendekatan ini perlu pemahaman mengenai scenario. Ada beberapa scenario yang mungkin terjadi di dalam perjalanan kebijakan JKN pada tahun 2014 sampai dengan 2019 dalam kaitannya dengan keadilan geografis dan keadilan social-ekonomi.
Dalam hal ini dibutuhkan perencanaan yang bersifat scenario. Perencanaan berdasar scenario (scenario planning) bukan merupakan kegiatan untuk memilih alternative, akan tetapi lebih untuk pemahaman bagaimana tiap kemungkinan akan berjalan . Dengan pemahaman ini sebuah lembaga atau negara dapat mempersiapkan diri dalam membuat berbagai keputusan strategis untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa mendatang. Perencanaan scenario adalah alat bantu pengambil kebijakan untuk melihat ke depan yang penuh ketidak-pastian.
Perencanaan skenario ini layak digunakan oleh Indonesia untuk membuat keputusan, termasuk capacity building tatkala ada ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi dimasa mendatang dan hasil proyeksi kinerja organisasi di masa lalu tidak mampu memberikan gambaran. Inti perencanaan skenario adalah pengembangan gambaran mengenai kemungkinan-kemungkinan kondisi di masa mendatang dan mengidentifikasi perubahan-perubahan dan implikasinya yang muncul sebagai akibat dari kondisi tersebut. Referensi lain menyebutkan bahwa perencanaan skenario dilakukan untuk menilai skenario-skenario yang memungkinkan untuk suatu kegiatan: kemungkinan terbaik (optimis), kemungkinan terburuk (pesimis) dan berbagai kemungkinan diantaranya.
Dalam Jaminan Kesehatan Nasional, skenario optimis adalah Road Map yang disusun oleh pemerintah Indonesia. Road map ini menyatakan bahwa di tahun 2019 seluruh warganegara Indonesia akan mendapat jaminan kesehatan. Roadmap ini disebut sebagai scenario optimis karena memperlakukan berbagai asumsi sebagai suatu kepastian pasti akan terjadi.

Gambar 1: Skenario Optimis

Dalam scenario optimis ini digambarkan bahwa dalam waktu lima tahun, daerah-daerah yang buruk/tertinggal di Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya sehingga dapat mencapai Universal Coverage bersama dengan daerah lainnya. Dalam scenario ini ada berbagai asumsi yang harus diperhatikan, antara lain: fasilitas dan ketersediaan SDM kesehatan dapat merata, pemerintah pusat dan daerah mempunyai dana investasi untuk penyeimbangan, dan berbagai asumsi lainnya. Disamping itu tidak terkaji perbedaan antara masyarakat miskin dan kaya.

Sebaliknya, dalam aspek keadilan geografis ada scenario pesimistis yang membahas kemungkinan berbagai asumsi tersebut tidak terjadi. Skenario pesimis menyatakan bahwa ada kemungkinan terjadi berbagai hal sebagai berikut:

- Kegagalan penambahan SDM di daerah sulit
- Kegagalan penambahan fasilitas kesehatan
- Pemerintah Indonesia tidak mempunyai danan investasi cukup untuk menyeimbangkan fasilitas dan SDM kesehatan
- Komposisi peserta Non-PBI (mandiri) yang besar dan cenderung sakit sehingga menyerap banyak Klaim
- dana BPJS diserap oleh daerah-daerah yang memang banyak fasilitas kesehatan
- terjadi fraud terutama di daerah Jawa sehingga terjadi penyerapan tinggi yang tidak efisien.

Berikut ini digambarkan model scenario pesimis.

Gambar 2: Skenario Pesimis

Dalam konteks Inequity geografis maka daerah yang buruk selama lima tahun kedepan tidak mampu untuk mengejar ketinggalan dengan daerah yang baik. Akibatnya jurang pemisah antara daerah yang baik dan buruk dapat membesar. Hal ini yang disebut sebagai pemburukan keadilan geografis.

Sementara itu dalam aspek keadilan social ekonomi, scenario pesimis menyatakan bahwa ada kemungkinan JKN lebih menguntungkan masyarakat menengah ke atas, bukan masyarakat miskin. Mengapa hal ini terjadi? Di masa depan ada berbagai kemungkinan sebagai berikut:
- Adanya peserta BPJS yang membayar premi (Non-PBI mandiri) yang berasal dari masyarakat kelas menengah dan atas;
- Peserta BPJS yang membayar tersebut kemudian naik kelas ke VIP dengan dana dari kantong pribadi atau berbagai asuransk kesehatan swasta yang indemnity
- Pasien RS menanggung biaya tidak hanya pembayaran untuk pelayanan kesehatan, namun juga ongkos penjaga pasien, transportasi, waktu bekerja yang hilang. Masyarakat miskin sulit membayar untuk ini.
- Aspek portabilitas dari BPJS memberi kesempatan kepada masyarakat kaya di sebuah regional tertinggal (misal Regional V) untuk menggunakan pelayanan kesehatan di Regional 1. Portabilitas ini secara praktis hanya akan berlaku untuk masyarakat yang mempunyai kemampuan tinggi.
- Akses untuk pelayanan kesehatan dengan INA-CBG tinggi (mahal-mahal) hanya ada di kota besar.

Skenario ini tidak dapat dikendalikan dengan perencanaan karena sifat khusus JKN pembayarannya adalah dengan Claim berdasarkan INA-CBG. Mekanisme klaim ini tidak mengacu pada pertimbangan equity. Besar kecilknya jumlah klaim ditentukan oleh ada atau tidaknya fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan. Jadi mengacu pada siapa cepat dia dapat. Contoh adalah perbandingan antara klaim di Regional I dan Regional V.

Gap kapasitas sistem kesehatan melakukan prosedur medis 'jantung bypass' menurut regionalisasi
(ketersediaan dr spesialis & teknologi)

Dengan sifat-sifat tersebut maka perjalanan JKN tahun 2014 – 2019 menjadi sangat penting untuk dimonitor. Penyimpangan dari tujuan yang berdasarkan UUD harus segera diketahui sedini mungkin untuk mencari solusi yang terbaik.

Siapa pelaku Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN?

Peran DJSN
Untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional dibentuklah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dimana Dewan ini bertanggungjawab pada Presiden yang berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Nasional. Dewan Jaminan Sosial bertugas:
a. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial
b. Mengusulkan kebijkan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional
c. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah.
Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam hal ini berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. Dalam menjalankan tugasnya DJSN beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh dan/atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja dan organisasi pekerja. Dalam melaksanakan tugas, DJSN dapat meminta masukan dan bantuan tenaga ahli. Salah satu tugas wajib DJSN yaitu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Jaminan Sosial setiap 6 (bulan) dan melaporkan hasilnya kepada pihak terkait termasuk kepada BPJS.
Peran Lembaga Independen
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan di lakukan oleh lembaga internal dan eksternal. Lambaga internal sendiri terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional dan satuan pengawas internal. Lembaga eksternal sesuai Undang-Undang dalam penjelasannya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi pada keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
1. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
2. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan Kepala Eksekutif;
3. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/ atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
5. Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7. Menetapkan sanksi administratif pada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
8. Memberikan dan/atau mencabut:
1. Izin usaha;
2. Izin orang perseorangan;
3. Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. Surat tanda terdaftar;
5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. Pengesahan;
7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. Penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Sebagai sebuah kebijakan besar, program JKN SJSN oleh BPJS perlu dilakukan monitoring pihak independen. Mengapa perlu dilakukan monitoring? Pelajaran penting yang harusnya sudah dilihat adalah pelaksanaan berbagai jaminan kesehatan dari tingkat pusat sampai jaminan kesehatan tingkat daerah yang sekarang masih berjalan. Peran serta pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan BPJS di daerah karena sebagian besar pelaksanaan BPJS ada di daerah.
Bagaimana peran perguruan tinggi?