IDI Jatim Soroti Ketiadaan Kompetensi Pelaksanaan Kebiri

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur mengaku bingung terkait eksekusi hukuman kebiri kimia, terhadap Muh Aris bin Syukur, terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, dr Poernomo Boedi mengatakan pihaknya tidak memiliki petunjuk pelaksanaan teknis dari Pengurus Besar (PB) IDI, untuk eksekusi pengebirian terhadap seorang terpidana.

"Sampai dengan saat ini belum ada petunjuk dari PB IDI terkait hal pengebirian seseorang terpidana," ujarnya saat dihubungi awak media, Senin (25/8).

Poernomo menambahkan dalam menjalankan praktik kedokteran, seorang dokter harus menguasai standar kompetensi yang telah ditentukan kolegiumnya. Selain itu, sambungnya, dalam hal kebiri belum ada standar kompetensi untuk menangani kasus tersebut.

"Ini (pengebirian) belum ada kompetensi," ujarnya.

Poernomo mengatakan andai eksekusi kebiri tersebut dilaksanakan, pihaknya akan menunggu lebih dulu petunjuk dan keputusan dari PB IDI.

"Yang penting ya petunjuk dan keputusan PB IDI," katanya.

Terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Muh Aris bin Syukur dijatuhi hukuman kebiri kimia oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Putusan hakim diperkuat di tingkat banding Pengadilan Tinggi Surabaya, 18 Juli 2019.

Aris dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dengan melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Ia juga dijatuhi pidana penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pidana kebiri kimia kepada terdakwa," seperti dikutip dari amar putusan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Mojokerto, Jumat (23/8).

Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa 17 tahun penjara. Hanya saja hukuman kebiri merupakan tambahan dari majelis hakim. Aris dianggap melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 tentang perubahan kedua UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Efek Jera

Terpisah, Wakil ketua Komisi VIII Marwan Dasopang meyakini hukuman kebiri kepada Aris sudah dikaji secara matang oleh penegak hukum agar menimbulkan efek jera dan kejadian serupa tak terulang.

"Ya kalau sudah naik lagi barangnya, ya ga bisa lagi lah. Efek jeranya gak jera lagi. Udah ga bisa kok. Ya yang satu udah selesai. Untuk yang lain mudah-mudahan ada efek jeranya," kata Marwan di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Senin (25/8).

Marwan mengatakan kasus pemerkosaan terutama sodomi punya efek berantai. DIa bilang korban-korbannya berpotensi bisa mengulangi hal serupa di kemudian hari.

Oleh karena itu, Marwan mengatakan tidak masalah jika harus melakukan hukuman kebiri kimia untuk mencegah hal semacam itu terjadi lagi.

"Karena tiap korban pemerkosaan, korban sodomi atau kekerasan seksual begitu kita telusuri dan dalami, sebagian besar adalah korban, kalau ditelusuri masa lalunya adalah korban juga. Maka bila tidak dihukum berat seperti kebiri, potensi mengulangi dan menularkan korban yang akan berpeluang membuat korban lagi, itu sejarah," kata Marwan.

Meski begitu, Marwan menyebut untuk menimbulkan efek jera juga diperlukan pendekatan pendidikan dan pendekatan sosial kepada pelaku.

"Jadi kalau aspek untuk jera hanya melalui kebiri, enggak mungkin, jadi harus ada pendekatan tambahan pendidikan, ada pendekatan ada perbaikan sosial, tapi untuk menyelamatkan satu orang demi yang lain itu sudah pasti," kata dia.

Sementara Komisioner Komnas HAM Mochammad Choirul Anam menyebut hukuman kebiri adalah bentuk pelanggaran HAM, dan sebuah kemunduran hukum di Indonesia.

"Sikap Komnas HAM sejak awal sejak dibentuknya peraturan tersebut di perpu itu kami menolak. Kenapa kami menolak karena kebiri itu melanggar hak asasi manusia," kata Anam, saat ditemui di Mapolda Jatim, Senin (26/8).

Anam mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah melakukan ratifikasi konvensi anti penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hal itu diadopsi dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Selain itu, menurut Anam hukuman kebiri dan bentuk hukuman penyiksaan semacamnya belum tentu bisa menimbulkan efek jera kejahatan tersebut. Anam mengatakan, hukuman yang tepat adalah kurungan seumur hidup dan sanksi sosial.

"Salah kalau mengatakan ada hukuman kebiri itu bisa menjawab rasa jera, endak. Yang bisa membuat jera adalah keadilan korban dan hukuman seberat-beratnya. Bagi Komnas HAM hukuman seberat-beratnya sebenarnya hukuman seumur hidup," katanya.

-- sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190826185125-20-424795/idi-jatim-soroti-ketiadaan-kompetensi-pelaksanaan-kebiri --