Minggu 4 BL Jaminan Kesehatan Nasional

Blended Learning
Jaminan Kesehatan Nasional
(4 minggu kegiatan di bulan April 2014)

Memahami Jaminan Kesehatan Nasional dengan mengikuti Penelitian Monitoring dan Evaluasi

Minggu 4:
29 April – 2 Mei 2014

Pengantar:


 

pengantarSelamat bertemu pada Minggu 4

Blended Learning mengenai Jaminan Kesehatan Nasional.

Tujuan Kegiatan Minggu 4


 

Kegiatan Blended Learning mengenai Jaminan Kesehatan Nasional pada Minggu 4 bertujuan untuk:

  1. Memahami skenario yang dapat terjadi di Jaminan Kesehatan Nasional.
  2. Memahami pentingnya distribusi dokter spesialis dan dokter umum dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Kegiatan yang akan dilakukan


Kegiatan 1:

Membahas Situasi penyebaran dokter dan dokter spesialis serta dampaknya pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Webinar: Selasa 29 April 2014, pukul 09.00 – 13.00
Tempat: Gedung Granadi Lantai X, Kuningan Jakarta
Dapat diikuti melalui webinar dan livestreaming di www.pendidikankedokteran.net


Waktu Acara Pembicara
08.00 – 08.30 Registrasi Peserta
08.30 – 09.00 Pembukaan dan Pengantar Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
09.00 – 10.30

(90 Menit)                                         

 SESI I :

Reformasi dalam Pendidikan Tenaga Kesehatan

  1. Distribusi dokter dan tenaga spesialis
  2. Dampak ketidak merataan Dokter pada Jaminan Kesehatan Nasional, apakah menghambat reformasi pembiayaan kesehatan?
  3. Tantangan kebijakan penyebaran tenaga kesehatan

KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD MATERI

Moderator : dr. Mushtofa
Pembicara :
Tim PKMK FK UGM ( 15 menit)

Dengan pembahas sebagai berikut:

  1. Konsultan WHO, Haroen Hartiah (10 Menit)
  2. Dr.Puti Marzoeki dari World Bank Jakarta (10 Menit)
  3. Badan PPSDM (10 Menit)
 10.30 – 10.45  Coffee Break
 10.45 – 12.15
(90 Menit)
 SESI II :
  1. Ideologi UU Pendidikan Kedokteran dan reformasi apa yang ingin dicapai
  2. Diskusi : tantangan kurikulum dan reformasinya

PP silahkan klik di sini

Pembicara :
Tim PKMK UGM (15 Menit)

Pembahas :

  1. Ketua AIPKI, Prof.Dr.Med Tri Hanggono Achmad (10 Menit)
  2. Ketua Umum IDI (10 Menit)
  3. Ditjen Dikti/Project HPEQ (10 Menit)

Catatan:

Setelah lunch break akan diteruskan dengan BL mengenai Dosen dan Dokter Pendidik Klinis

Kegiatan 2:

Melakukan analisis mengenai:

  1. Hasil dari Diskusi Webinar.
  2. Tujuan adanya Dokter Layanan Primer.
  3. Jenis-jenis Dokter Layanan Primer di Indonesia dan pemahaman mengenai Task-Shifting. Apakah perlu ada pembedaan kompetensi Dokter Layanan Primer di daerah Rural dan di daerah Perkotaan ?

Catatan:
Untuk memahami Task Shifting dalam konteks penanganan masalah HIV-AID, SILAKAN KLIK DISINI

Tugas:

  1. Menurut tim anda, apa peran fakultas kedokteran dalam Jaminan Kesehatan Nasional?
  2. Apakah perlu ada pembedaan kompetensi antara dokter layanan Primer di daerah yang kurang spesialis dengan yang banyak spesialis (daerah perkotaan dan daerah rural yang jauh)?
  3. Di daerah yang kurang dokter spesialisnya: apakah akan ada penambahan kompetensi klinis yang biasa dilakukan oleh spesialis tertentu ke Dokter spesialis Layanan Primer dengan dasar task-shifting?

Pengiriman tugas:


 

kotak posSetelah menuliskan jawaban atas pertanyaan tersebut, silahkan kirim email ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
dan fasilitator anda.
Jawaban anda attach dengan kode file:
PPE_JKN_M4_XXX
(*XXX : nama pengirim)

 

 

Apa yang akan dikerjakan pada kegiatan mendatang?


 

Persiapan masuk ke Blended Learning Dokter Layanan Primer yang akan dimulai tanggal 14 Mei 2014:

  1. Membaca UU Pendidikan Kedokteran tentang Dokter Layanan Primer
  2. Membaca berbagai referensi di luar negeri mengenai Dokter Layanan Primer

Minggu 3 JKN

Blended Learning
Jaminan Kesehatan Nasional
(4 minggu kegiatan di bulan April 2014)

Memahami Jaminan Kesehatan Nasional dengan mengikuti Penelitian Monitoring dan Evaluasi

Minggu 3: 21 – 26 April 2014


pengantarPengantar

Selamat bertemu pada Minggu 3 Blended Learning mengenai Jaminan Kesehatan Nasional

 

 

tujuanTujuan Kegiatan Minggu 3
Kegiatan Blended Learning mengenai Jaminan Kesehatan Nasional pada Minggu 3 bertujuan untuk:

Memahami penyusunan skenario yang akan dianalisis di setiap propinsi;
Mendiskusikan kemungkinan tim peneliti fakultas kedokteran untuk mengikuti penelitian Monitoring dan Evaluasi JKN 2014 – 2019.

Kegiatan yang akan dilakukan:

Kegiatan 1:
Membahas hasil sementara penelitian berupa Skenario Jaminan Kesehatan Nasional. Skenario ini merupakan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh 14 perguruan tinggi di Indonesia.
Webinar: Selasa 22 April 2014, pukul 13.00 – 14.30

Kegiatan 2 dilakukan dengan cara telepon dan diskusi di miling-list:
Membahas kemungkinan fakultas kedokteran yang diwakilinya berpartisipasi dalam penelitian monitoring JKN.

kotak pos

Tugas:
Apabila fakultas kedokteran berminat diharapkan mengirimkan anggota tim penelitian yang diajukan ke Pengelola.

Pengiriman Tugas

Kirimkan tugas Anda melalui email ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
dan fasilitator anda.
Jawaban anda attach dengan kode file:
JKN_M0_XXX_YYY
(XXX : nama universitas ; YYY: nama pengirim)

 


Apa yang akan dikerjakan pada kegiatan mendatang ?


time

Minggu 4:

26 April  2014: Membahas Dokter Layanan Primer (Transisi masuk ke Blended Learning Dokter Layanan Primer; 1 Mei – 25 Mei 2014)

 

Minggu 2 Pokja Jaminan Kesehatan Nasional

Berikut ini adalah video diskusi minggu 1 Pokja Jaminan Kesehatan Nasional 

 Video 1. Sesi pertama tentang Pengantar Pokja Jaminan Kesehatan Nasional

 Video 2. Sesi diskusi tentang prinsip pembiayaan kesehatan

Video 3. Sesi diskusi tentang proposal monitoring dan evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional

Monitoring dan Evaluasi

Mengapa perlu melakukan monitoring dan evaluasi?
UU SSJN dan UU BPJS dengan seluruh turunannya merupakan serangkaian kebijakan kesehatan. Apa yang disebut sebagai Kebijakan Kesehatan. Tidaklah mudah untuk mengartikan kebijakan kesehatan dalam kalimat singkat. Seorang perencana dari Bank Dunia (World Bank) dengan latar belakang ekonomi mengartikan kebijakan kesehatan sebagai pengalokasian sumber daya yang terbatas di bidang kesehatan (allocation of scarce resources) Ahli yang lainnya lebih melihat pada proses dan kekuasaan, termasuk di dalamnya "siapa mempengaruhi siapa pada pembuatan kebijakan kesehatan dan bagaimana kebijakan itu akhirnya terjadi". Health policy is about the process and the power. It is concerned with who influences whom in the making of policy and how that happens.
Karena itu Walt mencoba merangkumnya dalam pemaknaan yang lebih luas melingkupi sebagai upaya atau tindakan-tindakan pengambilan keputusan yang tak hanya meliputi aspek teknis medis dan pelayanan kesehatan , tak hanya aktor individu tetapi juga organisasi atau institusi, dari pemerintah juga sektor swasta termasuk LSM dan representasi masyarakat lainnya, yang akan mempengaruhi atau membawa dampak pada kesehatan.
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organizations, services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health ( Walt, 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan pubik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Pemahaman tentang arti kebijakan kesehatan dilengkapi oleh Janovsky & Cassels (1996), sebagai : " The networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery". Atas dasar itu ia membagi kebijakan kesehatan dalam Kebijakan teknis (technical policies) atau kebijakan operasional (operational policies) yang cenderung bernuansa pelaksanaan kegiatan dan Kebijakan institusional (institutional policies) atau kebijakan strategis (strategic policies) yang cenderung bernuansa strategis. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan perlu diperlakukan sama dengan kebijakan public lainnya yang harus diteliti efektifitasnya.

Dalam konteks ini, penelitian kebijakan kesehatan merupakan salah satu cabang ilmu yang baru berkembang di Indonesia. Pemahaman kalangan akademis yang membidangi masalah kebijakan kesehatan mengenai bagaimana melaksanakan penelitian kebijakan masih sangat terbatas. Penelitian kebijakan kesehatan mempunyai berbagai cakupan antara lain:

1. Agenda Setting dan konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam penyusunan kebijakan Kesehatan
2. Komponen Kebijakan (Aktor, kebijakan dan Lingkungan)
3. Aspek desentralisi dimana ada pembagian wewenang antar berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia.
Dalam penelitian kebijakan, ada berbagai bentuk dan metode yang digunakan, antara lain: Policy Analysis (Analisis terhadap Aktor, Isi, Konteks dalam formulasi, dan implementasi Kebijakan); Monitoring policy Impact (WHO 2013); Evaluasi Kebijakan, dan Analisis Stakeholder. Semakin lengkap bentuk dan metode, diperlukan berbagai ketrampilan untuk melakukanya.
Berbagai Risiko Kebijakan UU SJSN dan UU BPJS untuk penyimpangan dari Tujuan Pemerataan.
Bagian ini membahas mengenai risiko kebijakan UU SJSN dan UU BPJS. Mengapa? Ada kemungkinan UU SJSN dan UU BPJS serta turunannya tidak menghasilkan apa yang disebut sebagai pencapaian tujuan kebijakan, khususnya dalam keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memahami pendekatan ini perlu pemahaman mengenai scenario. Ada beberapa scenario yang mungkin terjadi di dalam perjalanan kebijakan JKN pada tahun 2014 sampai dengan 2019 dalam kaitannya dengan keadilan geografis dan keadilan social-ekonomi.
Dalam hal ini dibutuhkan perencanaan yang bersifat scenario. Perencanaan berdasar scenario (scenario planning) bukan merupakan kegiatan untuk memilih alternative, akan tetapi lebih untuk pemahaman bagaimana tiap kemungkinan akan berjalan . Dengan pemahaman ini sebuah lembaga atau negara dapat mempersiapkan diri dalam membuat berbagai keputusan strategis untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa mendatang. Perencanaan scenario adalah alat bantu pengambil kebijakan untuk melihat ke depan yang penuh ketidak-pastian.
Perencanaan skenario ini layak digunakan oleh Indonesia untuk membuat keputusan, termasuk capacity building tatkala ada ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi dimasa mendatang dan hasil proyeksi kinerja organisasi di masa lalu tidak mampu memberikan gambaran. Inti perencanaan skenario adalah pengembangan gambaran mengenai kemungkinan-kemungkinan kondisi di masa mendatang dan mengidentifikasi perubahan-perubahan dan implikasinya yang muncul sebagai akibat dari kondisi tersebut. Referensi lain menyebutkan bahwa perencanaan skenario dilakukan untuk menilai skenario-skenario yang memungkinkan untuk suatu kegiatan: kemungkinan terbaik (optimis), kemungkinan terburuk (pesimis) dan berbagai kemungkinan diantaranya.
Dalam Jaminan Kesehatan Nasional, skenario optimis adalah Road Map yang disusun oleh pemerintah Indonesia. Road map ini menyatakan bahwa di tahun 2019 seluruh warganegara Indonesia akan mendapat jaminan kesehatan. Roadmap ini disebut sebagai scenario optimis karena memperlakukan berbagai asumsi sebagai suatu kepastian pasti akan terjadi.

Gambar 1: Skenario Optimis

Dalam scenario optimis ini digambarkan bahwa dalam waktu lima tahun, daerah-daerah yang buruk/tertinggal di Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya sehingga dapat mencapai Universal Coverage bersama dengan daerah lainnya. Dalam scenario ini ada berbagai asumsi yang harus diperhatikan, antara lain: fasilitas dan ketersediaan SDM kesehatan dapat merata, pemerintah pusat dan daerah mempunyai dana investasi untuk penyeimbangan, dan berbagai asumsi lainnya. Disamping itu tidak terkaji perbedaan antara masyarakat miskin dan kaya.

Sebaliknya, dalam aspek keadilan geografis ada scenario pesimistis yang membahas kemungkinan berbagai asumsi tersebut tidak terjadi. Skenario pesimis menyatakan bahwa ada kemungkinan terjadi berbagai hal sebagai berikut:

- Kegagalan penambahan SDM di daerah sulit
- Kegagalan penambahan fasilitas kesehatan
- Pemerintah Indonesia tidak mempunyai danan investasi cukup untuk menyeimbangkan fasilitas dan SDM kesehatan
- Komposisi peserta Non-PBI (mandiri) yang besar dan cenderung sakit sehingga menyerap banyak Klaim
- dana BPJS diserap oleh daerah-daerah yang memang banyak fasilitas kesehatan
- terjadi fraud terutama di daerah Jawa sehingga terjadi penyerapan tinggi yang tidak efisien.

Berikut ini digambarkan model scenario pesimis.

Gambar 2: Skenario Pesimis

Dalam konteks Inequity geografis maka daerah yang buruk selama lima tahun kedepan tidak mampu untuk mengejar ketinggalan dengan daerah yang baik. Akibatnya jurang pemisah antara daerah yang baik dan buruk dapat membesar. Hal ini yang disebut sebagai pemburukan keadilan geografis.

Sementara itu dalam aspek keadilan social ekonomi, scenario pesimis menyatakan bahwa ada kemungkinan JKN lebih menguntungkan masyarakat menengah ke atas, bukan masyarakat miskin. Mengapa hal ini terjadi? Di masa depan ada berbagai kemungkinan sebagai berikut:
- Adanya peserta BPJS yang membayar premi (Non-PBI mandiri) yang berasal dari masyarakat kelas menengah dan atas;
- Peserta BPJS yang membayar tersebut kemudian naik kelas ke VIP dengan dana dari kantong pribadi atau berbagai asuransk kesehatan swasta yang indemnity
- Pasien RS menanggung biaya tidak hanya pembayaran untuk pelayanan kesehatan, namun juga ongkos penjaga pasien, transportasi, waktu bekerja yang hilang. Masyarakat miskin sulit membayar untuk ini.
- Aspek portabilitas dari BPJS memberi kesempatan kepada masyarakat kaya di sebuah regional tertinggal (misal Regional V) untuk menggunakan pelayanan kesehatan di Regional 1. Portabilitas ini secara praktis hanya akan berlaku untuk masyarakat yang mempunyai kemampuan tinggi.
- Akses untuk pelayanan kesehatan dengan INA-CBG tinggi (mahal-mahal) hanya ada di kota besar.

Skenario ini tidak dapat dikendalikan dengan perencanaan karena sifat khusus JKN pembayarannya adalah dengan Claim berdasarkan INA-CBG. Mekanisme klaim ini tidak mengacu pada pertimbangan equity. Besar kecilknya jumlah klaim ditentukan oleh ada atau tidaknya fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan. Jadi mengacu pada siapa cepat dia dapat. Contoh adalah perbandingan antara klaim di Regional I dan Regional V.

Gap kapasitas sistem kesehatan melakukan prosedur medis 'jantung bypass' menurut regionalisasi
(ketersediaan dr spesialis & teknologi)

Dengan sifat-sifat tersebut maka perjalanan JKN tahun 2014 – 2019 menjadi sangat penting untuk dimonitor. Penyimpangan dari tujuan yang berdasarkan UUD harus segera diketahui sedini mungkin untuk mencari solusi yang terbaik.

Siapa pelaku Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN?

Peran DJSN
Untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional dibentuklah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dimana Dewan ini bertanggungjawab pada Presiden yang berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Nasional. Dewan Jaminan Sosial bertugas:
a. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial
b. Mengusulkan kebijkan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional
c. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah.
Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam hal ini berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. Dalam menjalankan tugasnya DJSN beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh dan/atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja dan organisasi pekerja. Dalam melaksanakan tugas, DJSN dapat meminta masukan dan bantuan tenaga ahli. Salah satu tugas wajib DJSN yaitu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Jaminan Sosial setiap 6 (bulan) dan melaporkan hasilnya kepada pihak terkait termasuk kepada BPJS.
Peran Lembaga Independen
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan di lakukan oleh lembaga internal dan eksternal. Lambaga internal sendiri terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional dan satuan pengawas internal. Lembaga eksternal sesuai Undang-Undang dalam penjelasannya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi pada keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
1. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
2. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan Kepala Eksekutif;
3. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/ atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
5. Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7. Menetapkan sanksi administratif pada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
8. Memberikan dan/atau mencabut:
1. Izin usaha;
2. Izin orang perseorangan;
3. Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. Surat tanda terdaftar;
5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. Pengesahan;
7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. Penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Sebagai sebuah kebijakan besar, program JKN SJSN oleh BPJS perlu dilakukan monitoring pihak independen. Mengapa perlu dilakukan monitoring? Pelajaran penting yang harusnya sudah dilihat adalah pelaksanaan berbagai jaminan kesehatan dari tingkat pusat sampai jaminan kesehatan tingkat daerah yang sekarang masih berjalan. Peran serta pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan BPJS di daerah karena sebagian besar pelaksanaan BPJS ada di daerah.
Bagaimana peran perguruan tinggi?

Isu-isu Strategis dalam Jaminan Kesehatan Nasional

Ada 3 isu dalam JKN yang perlu dibahas yaitu: Ideologis dan kemampuan fiskal, Equity, dan Proses penyusunan Kebijakan JKN

 

 

Isi Ideologi dan Kemampuan Fiskal

Dalam memilih kebijakan pembiayaan kesehatan, setiap negara perlu memastikan kecukupan fiskal. Bukti menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang dibayar oleh pemerintah membutuhkan negara yang mempunyai pendaptan cukup. Hal ini terjadi di negara-negara Eropa Barat yang cenderung mewarisi sifat sosialisme. Swedia, Inggris merupakan negara yang sangat teguh dalam memagang prinsip bahwa kesehatan harus didanai oleh negara. Spanyol berusaha serupa, namun ketika krisis ekonomi menghatam, terjadi pemotongan anggaran untuk kesejahteraan sosial termasuk rumahsakit.

Negara-negara berkembang, khususnya negara yang berpenghasilan rendah, menghadapi tantangan berat dalam memobilisasi kecukupan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar. Berbagai negara miskin di Asia seperti Bangladesh tidak mempunyai program penjaminan pelayanan kesehatan[1]. Negara berpenghasilan menengah seperti Thailand saat ini fokus terhadap penyediaan cakupan universal untuk warganya. Negara membiayai sebagian pelayanan kesehatan walaupun tetap masyarakat dapat membeli/membayar sendiri pelayanan kesehatannya.  Negara-negara berkembang menghadapi tantangan kebijakan utama dalam pembiayaan sistem kesehatan :

a)   Meningkatkan kecukupan dan keberlanjutan dana kesehatan yang dapat dikumpulkan oleh negara. Dana pemerintah yang dengan susah payah dikumpulkan ini perlu dibelanjakan secara efisien dan adil. Prioritas untuk menyediakan layanan kesehatan dasar dan perlindungan keuangan terhadap kerugian finansial yang bersifat katastrofik baik yang disebabkan penyakit maupun kecelakaan perlu dilakukan.

b)   Sistem pembiayaan harus dikelola agar dana yang terkumpul dapat masuk ke proses penyaluran yang menjamin keadilan dan efisiensi. Sebagai gambaran, andaikata dana disalurkan ke sistem asuransi kesehatan yang cenderung digunakan oleh masyarkat kelas atas dan yang sakit maka terjadi kegagalan pooling.

c)   Negara-negara sedang berkembang perlu menyusun perencanaan yang baik agar terjadi efisiensi dan pemerataan pembelian layanan kesehatan. Dalam konteks jaminan kesehatan hal ini dapat menjadi masalah karena sistem claim yang menggunakan pendekatan DRG cenderung membuat penggunaan anggaran condong berada di daerah yang tersedia pelayanan kesehatan dan SDMnya.

            Dalam konteks kebijakan negara di pengumpulan dan penyaluran dana kesehatan, perlu dipahami ideology yang dianut negara. Ada pertannyaan penting dalam penyusunan UU SJSN dan UU BPJS. Adakah ideology di dalamnya? Apakah sosialisme, kapitalisme, etatisme, atau neoliberal?  Atau ada pertanyaan yang sarkastik, apakah kebijakan UU SJSN dan UU BPJS adalah sebuah kebijakan yang bersifat populis, hanya untuk menyenangkan rakyat tanpa perhitungan teknis, kemampuan fiscal, dan tidak berdasarkan ideology.

Sebuah pertanyaan yang cukup sulit dijawab karena ternyata dalam perjalanan sejarah terjadi pergeseran bahkan pencampuran berbagai ideology. Contohnya berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat dalam membiayai pengobatan sehingga RS boleh memungut tariff dari masyarakat langsung. Dari tahun ke tahun, tampak bahwa pembangunan RS swasta yang berbentuk PT semakin meningkat.  Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada penambahan 25 RS  berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan[2]. Sebaliknya hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk PT ini melayani kelompok pasar menengah atas.

Namun menarik untuk diamati bahwa dalam decade 2000an terjadi pergeseran ideology. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi asuransi kesehatan bagi orang miskin.  Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan.  Hal ini merupakan tanda bahwa sosialisme menguat di Indonesia.

Akan tetapi adanya pemilihan presiden dan kepala daerah langsung di Indonesia nampaknya juga berpengaruh terhadap kebijakan public dalam pembiayaan kesehatan. Kebijakan yang cenderung mengandung ciri-ciri “sosialisme” ini ditumpangi oleh penguatan arus “populisme” yang cenderung hanya untuk menyenangkan rakyat.  Hal ini nampak pada janji janji kampanye yang seringkali berupa “pengobatan gratis”. Kemudian disusul dengan adanya program Jaminan Persalinan (jampersal) yang bahkan membolehkan mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di kelas 3 RS yang dikontrak.

Situasi ini berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat dimana ideology sangat kental. Partai Demokrat cenderung dalam posisi banyak membelanjakan dana yang dikumpulkan oleh negara untuk pelayanan kesehatan. Sebalikya Parta Republik mempunyai ideology yang cenderung mengurangi peran dan pendanaan negara agar tidak terjadi beban pajak yang besar dan “pemanjaan” masyarakat.

 

 Isu Equity

 

Salahsatu tujuan reformasi dalam sistem kesehatan, termasuk  pembiayaan kesehatan adalah seperti mengurangi ketimpangan, mencegah orang jatuh ke dalam kemiskinan sebagai akibat dari biaya pengobatan, dan melindungi dan meningkatkan status kesehatan individu dan populasi dengan memastikan akses.  Kebijakan untuk memberikan perlindungan keuangan dan mempromosikan kesetaraan tergantung pada bagaimana sistem kesehatan mengatur tiga fungsi pembiayaan kesehatan utama: revenue collection, pooling risk, dan purchasing. Semua fungsi pembiayaan kesehatan berperan penting dalam memastikan perlindungan keuangan dan mengurangi kesenjangan merupakan prinsip pokok namun sering paling sedikit dipahami. Mengapa?

Equity kesehatan yanng dipahami sebagai keadilan dan pemerataan untuk pelayanan kesehatan sering kurang dipahami dengan benar. Dalam hal ini  perlu dipelajari mengenai equity geografis dan equity sosial-ekonomi. Equity geografis berpijak pada perbedaan antar berbagai daerah dalam berbagai dimensi antara lain:

  1. a.Equity dalam status kesehatan

Contoh perbedaan equity antar propinsi adalah perbedaan tingkat kematian maternal antara populasi. Di Provinsi Yogyakarta, angka kematian ibu (AKI) adalah 125 kematian per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Provinsi Papua, AKI mencapai angka 362 per 100.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini tidak adil dan dapat dihindari.

  1. b.Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

Penggunaan layanan kesehatan seringkali dijadikan perbandingan dalam melihat ketimpangan antar populasi. Masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di Provinsi NTT misalnya.

Contoh, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di DKI Jakarta mencapai cakupan 98%, sementara ibu-ibu melahirkan di Provinsi Maluku Utara hanya mendapat cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 23% (SDKI, 2007). Contoh lain: Hemodialisis hanya didapatkan di Kupan untuk seluruh Propinsi NTT. Untuk mendapatkannya warga NTT harus terbang ke Kupang (P. Timor) dari berbagai pulau lain. Sementara itu di Yogya, untuk mendapatkan pelayanan hemodialisis pasien dapat naik b ecak.

Mengapa bisa terjadi ketimpangan geografis yang tinggi? Apakah distribusi dokter dan fasilitas kesehatan juga adalah suatu inequity tersendiri? dan, apakah sistem kesehatan nasional Indonesia timpang?

 

Equity secara sosial-ekonomi

Kebijakan dalam pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas  pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya.

Dapat disimpulkan bahwa  berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya.  Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat (ASKESKIN, JAMKESMAS, JAMKESDA, dsb), mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan kaum rentan-miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan.

Akan tetapi peraturan dalam JKN ada kemungkinan memperburuk penggunaan pelayanan kesehatan. Dengan terbukanya pintu bagi masyarakat kelas menengah dan atas untuk menjadi anggota BPJS dengan membayar premi yang kurang dari Rp 60 ribu sebulan, maka ada risiko terjadinya ketidak adilan sosial-eknomi.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa kebijakan JKN dan BPJS mempunyai kemungkinan memperburuk ketidak-adilan geografis dan sosial-ekonomi.

 

Isu Proses penyusunan Kebijakan

 

Proses penyusunan UU SJSN dan BPJS telah lama berjalan. Pada tahun 1997 UGM pernah menyusun dokumen akademik (bersama PT Askes Indonesia) mengenai RUU Sistem Asuransi Kesehatan Nasional.  Naskah akademik ini membatasi Jaminan Kesehatan hanya untuk masyarakat bawah seperti Jamkesmas.

 

Proses penyusunan UU ini kemudian tidak berjalan dan berganti  dengan RUU SJSN. Pengembangan RUU SJSN berjalan secara berat dan mencakup tidak hanya asuransi kesehatan.  Materi Asuransi kesehatan digabungkan dengan berbagai jaminan sosial lain seperti yang dimaksud dengan ILO. Proses penyusunan UU SJSN penuh kompromi dan pengesahannya cukup menarik: di hari terakhir Presiden Megawati. Selanjutnya selama 5 tahun dari tahun 2004 sampai dengan 2009, UU SJSN tidak berjalan dengan baik. Proses ini menunjukkan adanya ketergesaan dalam pengesahannya.UU BPJS disahkan dalam suasana yang hiruk-pikuk dengan berbagai stakeholder yang berbeda  pendapat dan berbagai demonstrasi yang pro dan kontra.

 

Berbagai stakeholder tersebut adalah masyarakat penerima, pemerintah (pusat, propinsi, dan kabupaten) DPR dan DPRD, pihak swasta (berbagai PT yang menjalankan jaminan sosial), pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan, organisasi Ikatan Profesi dan lain-lain. Aktor pelaku sangat banyak dan mempunyai pandangan politik dan pandangan terkait dengan keuangan dan kepentingan ekonomi yang berbeda-beda. Dalam konteks berbagai jaminan sosial, para aktor pelaku sudah berada dalam posisi yang sulit dikelola secara bersama-sama. Dalam penyelesaian 2 UU tersebut, dikawatirkan hal-hal teknis menjadi terabaikan dalam perdebatan politik dan perbedaan kepentingan ekonomi antar aktor pelaku. Hal ini sudah terbukti pada perdebatan akhir-akhir ini mengenai bentuk dan komposisi BP SJSN.



[1] WHO Report..

[2] Trisnantoro L, Hort, Meliala.